Menjadi Kupu-Kupu
Menjadi mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang kuliah pulang) kerap kali distigmakan sebagai sesuatu yang negatif. Hal ini terjadi karena mahasiswa yang bersangkutan itu terlihat tidak aktif dan tidak memiliki antusiasme untuk mengikuti kegiatan yang ada di kampus. Bahkan ada yang mengatakan bahwa kalau mahasiswa kupu-kupu maka lebih baik tidak usah kuliah. Sungguh merupakan stigma yang cukup menyakitkan bagi mereka.
Namun, kita terkadang lupa bahwa sebuah masalah itu bisa dipandang dari sudut pandang yang lain. Menjadi kupu-kupu itu sebenarnya merupakan hak setiap individu yang harus dihormati oleh orang-orang yang lain. Sebab, mereka memiliki alasan untuk melakukan hal itu, yang tidak diketahui oleh orang-orang yang membuat stereotype tentang mahasiswa kupu-kupu. Mahasiswa itu menjadi kupu-kupu, bisa saja karena dirinya memahami tujuan utamanya kuliah yakni untuk menuntut ilmu sehingga ia tidak ingin ada kegiatan lain yang membuat proses tersebut menjadi sulit dilakukan. Bisa juga, karena menurutnya kegiatan yang ada tidak/belum ada yang membuatnya tertarik. Bedakan dengan mahasiswa yang pemilih dalam mengikuti kegiatan di kampus, sebab kadang mahasiswa yang pemilih dalam mengikuti kegiatan ataupun kepanitiaan mendapat cap sebagai mahasiswa kupu-kupu. Tidak ada asas yang dilanggar dalam menjadi mahasiswa kupu-kupu, ia pun tidak melanggar kodrat alam atau apapun juga. Jika mahasiswa kupu-kupu itu terus dihakimi seperti itu, maka yang menghakimi tidak mengakui kemerdekaan dan kedaulatan orang lain atas dirinya sendiri. Orang memiliki kebebasan dalam hal ingin menjadi kupu-kupu atau ingin aktif. Tidak dosa apabila mahasiswa menjadi kupu-kupu, memberi stereotype dan membuat prasangka lah yang merupakan kedosaan sesungguhnya.
Bedakan pula mahasiswa kupu-kupu dengan mahasiswa yang apatis. Tidak semua yang kupu-kupu itu tidak peduli dengan keadaan sekitarnya. Anda tidak akan pernah tau isi hati seseorang sehingga hanya akan SELALU menghakimi dari apa yang terlihat saja. Kalau mau membuat cap, anda harus ketahui betul isi hatinya.
Saya sendiri selama ini selalu dicap mahasiswa kupu-kupu. Walaupun ada beberapa kegiatan yang saya ikuti di kampus, terutama ketika waktunya benar-benar senggang pasti saya sempatkan untuk ikut. Saya juga mengikuti 2 unit kegiatan mahasiswa tingkat universitas (belum termasuk keagamaan). Hal ini berdasarkan atas pertimbangan saya bahwa untuk semester-semester awal, saya harus fokus pada cara supaya saya bisa survive dalam kuliah sehingga saya nantinya dapat mengikuti kegiatan-kegiatan di semester-semester selanjutnya dengan lebih enak (harapan saya). Ibaratnya, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Saya tidak mau kalau saya kebanyakan ikut kegiatan, senang-senang, tapi habis itu kuliah saya hancur. Saya menyadari kemampuan saya, bahwa saya hanya akan maksimal jika saya fokus. Saya pikir ada waktunya sendiri nantinya saya akan mengikuti banyak kegiatan di kampus.
Orang-orang yang di semester awal sudah mengikuti terlalu banyak kegiatan sering juga dicap sebagai "maba kaget". Karena dia senang mengikuti semua kegiatan yang ada. Tetapi stigma seperti ini juga tidak sepenuhnya benar, menjadi mahasiswa yang ikut kegiatan banyak sekali itu juga pasti beberapa diantara mereka punya alasan kuat dan tidak semuanya asal-asalan. Bisa saja, mereka ingin belajar mengelola waktu sedini mungkin sehingga mampu dihadapkan pada pekerjaan yang banyak. Bisa juga mereka ingin cari banyak pengalaman, yang menurut mereka itu akan memperkaya diri mereka dan dapat berguna ketika menghadapi kehidupan di masa datang.
Akhir kata, hentikanlah pemberian stereotype tanpa dasar, karena itu adalah SESAT PIKIR.
0 komentar: