Kuliah Ilmu Negara Bab I-III

01.38 Bernardino Rakha A 0 Comments

Bab I: Pendahuluan
Ilmu Negara merupakan ilmu yang membahas pengertian-pengertian pokok dan sendi-sendi pokok tentang negara. Pengertian pokok tersebut berlaku sama di seluruh dunia, sedangkan sendi-sendi pokok berlaku berbeda tergantung pada wilayahnya.

Perbedaan antara Ilmu Negara dengan Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara adalah bahwa Ilmu Negara merupakan ilmu yang artinya ia masih bersifat abstrak dan belum dapat diterapkan secara langsung dalam sebuah negara. Sedangkan Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara sudah dapat diterapkan secara langsung ke dalam hukum positif suatu negara, sehingga ia dinamakan Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, bukan lagi sekadar ilmu yang abstrak.

Kodifikasi hukum dari Romawi masuk ke Eropa Barat melalui apa yang  dikenal dengan nama teori receptie, yakni teori tentang penerimaan dan peninjauan kembali terhadap hukum yang lampau. Ada empat fase:

  1. Theoretische Receptie: Bangsa Eropa mempelajari dan menggali kembali ilmu-ilmu yang lampau secara teoritis, belajar langsung ke Negara Romawi.
  2. Praktische Receptie: Teori-teori yang sudah dipelajari kemudian diterapkan dalam pelaksanaannya melalui pengadilan. Dan dengan demikian seluruh masyarakat meresapi hukum dari Negara Romawi.
  3. Wetenschappelijke Receptie: Setelah hukum Romawi tersebut diresapi oleh masyarakat, didirikanlah universitas dan fakultas untuk mempelajari kodifikasi hukum ini di negara-negara Eropa itu agar tidak perlu lagi belajar jauh-jauh ke Negara Romawi
  4. Posietieve Rechtelijke Receptie: Setelah sudah banyak orang-orang yang memahami hukum Negara Romawi itu, kemudian hukum tersebut dijadikanlah hukum positif.
George Jellinek mendapat julukan sebagai "Bapak Ilmu Negara" karena ia merupakan orang pertama yang menyusun teori tentang negara secara sistematis. Jellinek memperkenalkan Zweiseiten Theorie atau teori dua segi, bahwa negara dapat dipandang dari segi sosiologis (bangunan sosial) dan segi yuridis (bangunan hukum). Berikut ini merupakan sistematika George Jellinek:

  1. Staatswissenschaft dalam arti luas, dibagi menjadi dua: staatswissenschaft dalam arti sempit dan rechtswissenschaft
  2. Staatswissenschaft dalam arti sempit dibagi menjadi 3: beschreibende staatswissenschaft (hanya pengetahuan saja), theoretische staatswissenschaft (teori-teori), dan praktische staatswissenschaft (praktek). Rechtswissenschaft dibagi menjadi 3: Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, dan Hukum Antar Negara
  3. Theoretische Staatswissenschaft dibagi menjadi 2: Allgemeine Staatslehre (Ilmu Negara Umum) dan Besondere Staatslehre (Ilmu Negara Khusus)
  4. Allgemeine Staatslehre dibagi menjadi 2: Allgemeine Soziale Staatslehre (sosiologis) dan Allgemeine Staatsrechtslehre (yuridis). Besondere Staatslehre dibagi menjadi 2: Individuelle Staatslehre (sosiologis) dan Speziale Staatslehre (yuridis).
Jellinek dibantah oleh muridnya yang bernama Hans Kelsen. Menurut Kelsen, ilmu tersebut harus lah berdiri sendiri dan tidak boleh dicampuradukkan dengan ilmu-ilmu lain (murni). Sehingga Kelsen merumuskan bahwa negara sebagai sebuah bangunan hukum memiliki tingkatan-tingkatan hukum yang dikenal dengan nama stufenbouw theorie. Tingkatan hukum tersebut sebenarnya ditemukan oleh Adolf Merkel.

Bab II: Sifat Hakekat Negara

Ada 3 tinjauan: historis, sosiologis, dan yuridis

Tinjauan historis merupakan tinjauan yang melihat dari istilah yang dipakai untuk negara. Misalnya pada masa Yunani Kuno dikenal istilah polis/negara kota. Kemudian pada masa abad pertengahan dikenal istilah civitas, yang menurut Agustinus ada dua yakni Civitas Dei (Tuhan) dan Civitas Terrena (duniawi). Kemudian ada pula dikenal istilah La stato yang dikemukakan oleh Machiavelli untuk menamai negara berdasarkan status sudah bernegara atau status civilis. Ini terkait dengan penandaan status yang menandai status seseorang sudah bernegara atau belum (status naturalis&status civilis)

Tinjauan sosiologis melihat dalam bentuk sederhana nya negara yakni organisasi manusia. Menurut Rudolf Von Jhering, negara didirikan untuk menciptakan organisasi yang teratur. Oleh karenanya, perlu dipimpin oleh seseorang dengan kekuatan jasmani. Namun hal ini hanya dilihat dari aspek kekuasaan semata. Duguit juga mengungkapkan hal senada bahwa didalam negara, yang paling kuat dapat memaksakan keinginannya kepada yang paling kuat.
Ada pula yang menganggap negara sebagai sebuah ikatan satu bangsa atau organisasi kewibawaan. Sebagai ikatan satu bangsa, menurut McDougall, dasar pengelompokan manusia adalah sebagai berikut:
  1. Alamiah (natuurlijk), yakni terjadi tanpa campur tangan manusia
  2. Sengaja (kunsmatig), dibagi lagi menjadi 3:
  • Benar-benar sengaja dibuat oleh manusia
  • Berdasarkan kebiasaan/tradisi
  • Campuran
Kranenburg mengemukakan bahwa McDougall tidak menjelaskan kelompok yang mana yang disebut negara, maka Kranenburg menjelaskan berdasarkan ada di satu tempat tertentu atau tidaknya dan teratur atau tidaknya sebagai berikut:
  1. Ada di suatu tempat tertentu dan teratur, contohnya penonton di bioskop
  2. Ada di suatu tempat tertentu namun tidak teratur, contohnya demonstrasi
  3. Tidak berada di suatu tempat tertentu dan tidak teratur, contohnya pedagang asongan
  4. Tidak berada di suatu tempat tertentu namun teratur, ini yang disebut sebagai negara
Kranenburg mengungkapkan bahwa negara adalah merupakan ikatan satu bangsa. Hal ini dikarenakan menurutnya, negara tumbuh dari adanya keinginan bersama untuk membentuk negara (willen verhaltnis) dan kemudian timbullah suatu tujuan bersama. Jadi tidak mungkin kalau negara itu terdiri dari beberapa bangsa.
Hermann Heller dan Logemann tidak setuju dengan pendapat Kranenburg. Menurut mereka mungkin saja jika negara tersebut tersusun atas beberapa bangsa. Menurutnya negara harus dipandang sebagai sebuah organisasi kewibawaan (Territoriaale Gezag Organisatie) sebagai suatu kekuasaan yang diakui. Kekuasaan tersebut diakui untuk memutuskan hal-hal yang penting (entscheidungseinheit). Max Weber mengungkapkan bahwa kekuasaan yang tidak diakui disebut sebagai kekerasan. Max Weber membagi organisasi kewibawaan sebagai berikut:
  1. Charismatische Gezag: berdasarkan keunggulan-keunggulan yang ada pada pemimpinnya tetapi tidak ditelaah dulu.
  2. Traditioneel Gezag: tradisi
  3. Rationeel Gezag: berdasarkan akal sehat, contoh: atasan pada bawahan
Logemann kemudian membagi lagi:
  1. Charismatische Gezag: umumnya dalam bidang agama
  2. Magische Gefundeerd Gezag: berdasarkan kekuatan magis yang dimiliki
  3. Traditioneel Gezag
  4. Rationeel Gefundeerd Gezag: oleh Logemann dikaitkan secara khusus dengan mythe yang artinya kepercayaan terhadap segala sesuatu yang dianggap benar. Mythe ada mythe abad 18 yang berupa dongeng-dongeng dan mythe abad 19 yakni pemerintahan dengan sistem perwakilan.
  5. Gezag Ener Elite: dikaitkan dengan mythe abad 20 yakni berdasar pada keanggotaan dari suatu elit yang berkuasa
Ditinjau dari sudut organisasi sebagai organisasi kewibawaan, maka negara merupakan suatu kesatuan yang berwibawa untuk bekerjasama dalam mencapai satu tujuan (wirkungseinheit). Adapun sistem kerjanya dibagi menjadi vertikal dan horizontal (departemen-departemen). Oleh karena itu, negara disebut juga sebagai organisasi jabatan (Ambten Organisatie). Ada kalanya pula departemen satu bekerja dengan departemen lain sehingga dibentuk panitia antar departemen (Government by committee).
Menurut Oppenheimer dan Gumplowics, dalam tinjauan secara sosiologis juga dapat dikatakan bahwa negara adalah sebuah organisasi yang berdiri karena penaklukan.

Tinjauan yuridis yakni berdasarkan negara sebagai objek hukum

Sifat negara sebagai penjelmaan tata hukum nasional menggunakan teori Hans Kelsen bahwa dalam suatu negara dipergunakan tingkatan-tingkatan hukum.

Bab III: Ikhtisar Pembenaran Negara

Ada 3 teori pembenaran negara: theokrasi, kekuatan, yuridis

Teori theokrasi adalah teori yang menyatakan bahwa penyelenggaraan negara berasal dari Tuhan. Terdapat theokrasi langsung dan theokrasi tidak langsung.
  1. Theokrasi Langsung: pemimpin negara tersebut dianggap sebagai Tuhan/anak Tuhan. Contoh: Kaisar Jepang sebelum PD II, Dalai Lama, Firaun, dsb.
  2. Theokrasi Tidak Langsung: pemimpin negara tersebut bukan Tuhan, melainkan wakil Tuhan di dunia. Contoh: Pemimpin Tahta Suci (Paus). Dikenal teori dari Agustinus dan Thomas von Aquino. Agustinnus mengungkapkan teori tentang Civitas Dei yang merupakan cita-cita negara agama dan Civitas Terrena yang merupakan negara duniawi yang diabolik/iblis dan dikecam oleh Agustinus. Thomas von Aquino mengungkapkan teori dua pedang, yakni pedang rohaniah yang berada pada organisasi gereja dibawah kekuasaan paus dan pedang duniawiah diserahkan pada organisasi negara yang dipimpin raja/kaisar.
Teori kekuatan adalah teori yang mendasarkan pada kekuatan. Ada teori kekuatan jasmani, kekuatan rohani, dan kekuatan ekonomi.

A. Kekuatan Jasmani
Shang Yang: Kebudayaan harus disingkirkan dan rakyat harus dibuat bodoh supaya negara kuat.
Machiavelli: Demi keamanan dan ketertiban, raja harus menjadi raja tega seperti singa dan licik seperti serigala.
Voltaire: Raja adalah orang yang mampu mengalahkan prajurit lain.
Thomas Hobbes: Yang kuat yang berkuasa

B. Kekuatan Rohani
Kekuatan untuk mencerahkan masyarakat

C. Kekuatan Ekonomi
Karl Marx: Masyarakat ekonomi kuat menindas masyarakat ekonomi lemah, sehingga pertentangan kelas semacam ini harus dihapuskan dengan menyetarakan seluruh masyarakat dalam satu kelas yang sama.
H.J. Laski: Seluruh sumber daya yang ada dalam negara dikerahkan demi tercapainya produksi yang stabil

Teori Yuridis, terbagi atas Segi Hukum Perdata dan Segi Hukum Publik

Dalam segi Hukum Perdata terbagi menjadi 3:
  1. Hukum Keluarga (MacIver): diawali oleh keluarga yang dipimpin oleh kepala keluarga kemudian berkembang menjadi klan yang besar. Kekuasaannya turun temurun.
  2. Hukum Benda (Von Haller): yang memiliki tanah adalah yang berkuasa, jadi siapapun yang tinggal di atas tanah itu tunduk pada ketentuan yang dibuat pemilik tanah (patrimonial). Sistemnya feodal.
  3. Hukum Perjanjian (Cicero): masyarakat yang dikuasai, untuk melindungi kepentingannya mengadakan perjanjian dengan penguasa
Dalam segi Hukum Publik:

A. Teori Caesarismus: Rakyat menyerahkan kekuasaan sepenuhnya pada raja sehingga kekuasan habis dilahap oleh raja yang dalam mengatur negara membuat Undang-Undang (Lex Regia). Kekuasaan raja absolut
B. Teori Monarchomachen: Kekuasaan raja dalam hal ini dibatasi. Konstruksinya: rakyat membuat persetujuan membentuk negara (Pactum Unionis), rakyat membuat perjanjian penyerahan pada penguasa (Pactum Subjectionis), dicantumkan dan diberi syarat dalam Legez Fundamentalis. Jika raja bersalah maka rakyat dapat menghukum.
C. Tiga teori perjanjian masyarakat pada zaman modern: bertumpu pada titik tolak yang sama yakni masyarakat yang masih sebagai status naturalis
  1. Thomas Hobbes: masyarakat sebagai status naturalis adalah makhluk yang serakah, egois, homo homini lupus. Sehingga dibutuhkan pemimpin yang kuat dan berkuasa absolut untuk mengatur manusia. Rakyat membuat perjanjian menjadi status civilis dan kemudian menyerahkan kekuasaannya sampai habis.
  2. John Locke: masyarakat sebagai status naturalis adalah masyarakat berakal budi. rakyat membuat perjanjian dengan penguasa supaya penguasa tidak melanggar hak-hak dasarnya.
  3. J.J. Rousseau: masyarakat sebagai status naturalis sejak lahir sudah memiliki kemerdekaan dan hak asasi, namun juga diatur dengan hukum, kebudayaan, dll. Perjanjian masyarakat menjadi status civilis membentuk kolektivitas dan negara diselenggarakan dengan sistim suara terbanyak.
Mohon dikoreksi bilamana ada kesalahan dari tulisan ini. Terimakasih.

Bernardino Rakha Adjiebrata
Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2015

Sumber: 
Tim Pengajar Mata Kuliah Ilmu Negara. 2015. Ilmu Negara. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

0 komentar: